Jumat, 05 Juni 2009

POSISI BAHASA ARAB UNTUK PEMAHAMAN AL-QUR'AN DAN AL-HADITS

Seorang intelektual Muslim pernah mengatakan, “Untuk menggali Alquran dan Hadits tidak mutlak diperlukan keahlian khusus dalam penguasaan bahasa Arab, karenanya untuk memahami isi Alquran dan Hadis itu , kita cukup dibantu karya-karya terjemahan yang sudah ada.” Tentu pandangan seperti ini boleh-boleh saja. Selama yang dimaksudkan dalam pandangan ini, adalah mereka yang awam dalam bahasa Arab, tapi punya minat yang besar untuk mengerti padanannya dalam bahasa Indonesia tentang yang terkandung dalam Alquran dan Hadis.
Bagi mereka yang awam dalam bahasa Arab, adanya terjemahan jelas sangat membantu sekali. Namun pertanyaan yang kemudian muncul, “Apakah cukup memahami Alquran dan Hadis, apalagi menggali kedalaman kandungan-kandungannya, hanya dengan mengandalkan pekerjaan para penerjemahnya?” Memang pertanyaan ini lebih tepat bila diajukan kepada mereka yang hendak mengeksplorasi kandungan Alquran dan Hadis secara mendalam. Mengingat betapapun kerja penerjemahan, tetap saja ia memiliki titik-titik kelemahan yang merupakan hasil distorsi dari dimensi-dimensi yang tidak mewakili dalam bahasa penerjemah. Dan, ini akan berimbas sangat signifikan pada hasil pemahamannya terhadap teks-teks utama keislaman tersebut.
Memang tidak ada jaminan, penguasaan terhadap aspek kebahasaan bahasa yang diterjemahkan (source language; lughat al-ashl) berpengaruh terhadap pemahaman yang benar, sesuai yang dikehendaki oleh teks. Namun paling tidak, hal itu telah mempersempit jarak antara ruang bahasa yang diterjemahkan dengan ruang bahasa penerjemahan. Menilik masing-masing mempunyai medan semantik yang berbeda. Dengan begitu, perolehan pemahaman yang benar bukan suatu yang mustahil.
Ada banyak faktor yang menyebabkan kerja penerjemahan menjadi niscaya serta memiliki kelemahan dan kekurangan.
(1) Perbedaan istilah dan kaidah antara bahasa yang diterjemahkan dengan bahasa yang dipakai dalam penerjemahan.
(2) Perbedaan pemahaman dalam menangkap isyarat-isyarat bahasa.
(3) Khazanah bahasa yang terus menerus mengalami perkembangan dan perubahan.
(4) Kekayaan bahasa dan tradisi berpikir suatu masyarakat tidak selalu sama dengan masyarakat lain.
(5) Kondisi sosial, psikologi, antropologi dan geografi yang berbeda antara kedua bahasa.
(6) Setiap bahasa memiliki akar serta lingkungan kultural yang khusus.

Dalam kasus penerjemahan teks-teks otoritatif keislaman ini, ada dua obyek yang menjadi titik perhatian. Pertama, bahasa Arab sebagai bahasa yang diterjemahkan (source language). Kedua, bahasa non-Arab sebagai bahasa penerjemahan (target language).
Penjelasan-penjelasan di atas ingin menunjukkan bahwa betapa sulitnya menggali sebuah pemahaman dari Alquran dan Hadis, dengan hanya mengandalkan sebuah terjemah. Bagaimana mungkin mendapatkan pemahaman yang bisa dipertanggungjawabkan? Penerjemahnya sendiri banyak menghadapi kendala-kendala dan keterbatasan-keterbatasan bahasa dalam menerjemahkan.
Tampaknya, berangkat dari kenyataan di atas, bahasa Arab masih tetap menempati posisi sentral dan strategis dalam keberhasilan penggalian kekayaan makna yang dimiliki Alquran dan Hadis. Karena menjadi suatu keharusan, penguasaan secara komprehensif bahasa yang akan diterjemahkan. Secara kompherensif, penguasaan bahasa Arab meliputi pembekalan yang memadai mengenahi gramatika Arab, seperti fonologi (ilm al-ashwat), morfologi (ilm al-sharf), sintaksis (ilm al-nahw), semantik (ilm al-dalalah),[9] retorika Arab (ilm al-balaghah, ilm al-badi’, ilm al-ma’ani),[10] psikollinguistik (ilm al-lughah al-nafs), sosiolinguistik (ilm al-lughah al-ijtima’i),[11] dan filologi (fiqh al-lughah).
Di luar penguasaan terhadap bahasa yang diterjemahkan, yang agar tidak kalah pentingnya, seperti salah satu syarat yang diajukan Muhammad Husein Al-Zahabi dalam menerjemahkan teks-teks semacam Alquran dan Hadis adalah penguasaan secara mendetail dan mendalam terhadap bahasa yang dipergunakan oleh penerjemah dalam penerjemahannya. Dikhawatirkan jika bahasa yang digunakan dalam penerjemahan tidak dikuasai, seorang penerjemah akan sangat terbatas dalam menemukan padanan bahasa ungkapan-ungkapan yang terdapat dalam bahasa yang diterjemahkan.[13] Bahasa Alquran sebagai Mukjizat Pada pembahasan berikut, kita akan lebih khusus menyorot hanya pada salah satu teks otoritatif yang paling sentral, yakni Alquran, mesti ada dimensi lain yang sangat boleh jadi menambah kelemahan-kelemahan dalam sebuah karya penerjemahan. Hal itu adalah bahwa ketika Alquran masih dalam bentuk Arabnya, seperti yang bisa ditemui dalam mushaf adalah merupakan wujud awal yang berasal dari bahasa Allah sebagai Tuhan. Namun, setelah Alquran itu diterjemahkan, Alquran dalam bentuk yang kedua ini adalah merupakan hasil ijtihad seorang hamba yang mencoba memahami dan mengalihbahasakan bahasa Tuhan ke dalam bahasa manusia. Di sinilah kerja penerjemah mempunyaai kesamaan yang asasi dengan kerja penafsir.
Di sini menjadi penting memperhatikan formulasi hermeunetik. Amina Wadud Muhsin, feminis kontroversial, menetapkan tiga aspek yang saling berkaitan satu sama lain. Dalam memahami sebuah konteks, ada beberapa syarat: (1) dalam konteks apa suatu teks ditulis. Dalam kasus Alquran, dalam konteks apa ayat itu diwahyukan. Untuk itulah perhatian terhadap asbab al-nuzul menjadi begitu bernilai; (2) bagaimana komposisi tata bahasa sebuah teks (ayat) dan dalam bentuk apa pengungkapannya; (3) bagaimana spirit atau pandangan hidup yang terkandung dalam keseluruhan teks,[15] karena itu terkait erat dengan yang dibicarakan dalam medan semantiknya.
Dengan demikian, dibutuhkan usaha yang ekstra berat bagi mereka yang hendak menggali pemahaman yang terkandung dalam Alquran, dan tentu saja untuk hal ini memperoleh pemahaman yang benar, dengan hanya berpengang pada otoritas keilmuan para penerjemahnya. Terlebih lagi bila menilik bahwa bahasa Alquran adalah bahasa mukjizat.
Dalam hal ini, Muhammad Ali al-Shabuni menyatakan bahwa para pakar bahasa Arab, kalangan linguis Arab dan ahli ilm al-bayan telah sepakat bulat mengenahi kemukjizatan Alquran ada pada faktor Alqurannya itu sendiri, yakni bahwa kemukjizatannya itu terkandung dalam; (1) kefasihan susunan kalimatnya; (2) keindahan maknanya; dan (3) bentuk sistematika bahasanya yang menakjubkan,[17] bahkan jauh sebelum itu.
Di samping bahwa Alquran diturunkan dengan membawa dua tujuan pokok, yaitu; pertama, Alquran merupakan bukti kebenaran apa saj yang disampaikan Nabi, yang tentu saja hal itu merupakan mukjizat; kedua, Alquran sebagai hidayah (petunjuk) demi kebaikan kehidupan manusia di dunia dan kehidupan di akhirat.
Sebagai sebuah mukjizat, bahasa Alquran telah membuat masyarakat pemilik bahasa yang dipergunakan Alquran itu, tidak mampu lagi menandinginya [17:88, 10:38, 11:13]. Karena ketidak mampuannya, mereka menuduh bahasa Alquran sebagai sihir [34:43, 46:7, 74:24]. Padahal, masyarakat bahasa ini mempunyai tradisi kebahasaan dan kesusastraan yang tinggi.
Di sinilah distorasi-distorasi karya-karya terjemahan Alquran akan sangat tampak. Karena setiap kemukjizatan, yang terdapat misalnya dalam keindahan susunan retorikanya (balaghah), mempunyai tujuan-tujuan khusus. Ini jelas sekali tidak dapat terwakili dalam sebuah karya terjemah, meskipun penerjemahnya memiliki disiplin ilmu mengenahi keindahan retorika bahasa. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa masing-masing bahasa mempunyai kekhasan yang tidak dimiliki bahasa lain (sui generis).
Karenanya, pada saat Alquran diterjemahkan, sesungguhnya hilang kekhasan susunan retorika bahasa Alquran itu. Nilai kemukjizatan Alquran juga akan merosot ke posisi di mana manusia akan mampu mencapainya, serta menjadi buram pula tujuan utama diturunkannya Alquran kepada Nabi Muhammad Saw.
Selanjutnya, Alquran sebagai petunjuk jalan hidup. Fungsi ini akan dapat diketemukan, setelah dilakukan penggalian hukum dan petunjuk moral dalam ayat-ayatnya. Meski hal itu sebagian kembali kepada makna asli yang dipakai masyarakat dan setiap bahasa dalam memahaminya (makna universal). Namun, sebagian makna lainnya merupakan makna yang khusus dimiliki oleh Alquran. Hal ini akan terlihat dalam pengambilan hukum dan petunjuk moral dari ayat-ayat yang memiliki makna sangat mendasar. Di sinilah tampak bahwa karya-karya terjemah Alquran itu menjadi sangat tidak maksimal.[19] Apalagi bila dilihat bahwa makna-makna dalam Alquran mampu memuaskan aspek-aspek rasional dan psikologis (إرضاؤه العقل والعاطفة ), yang tentu saja tidak dapat diwakilkan dalam karya-karya terjemah.
Secara kasat mata dapat ditangkap bahwa dimensi-dimensi di atas menjadikan pengalihan pemahaman dari Alquran dan Hadis melalui karya-karya terjemahannya merupakan satu upaya yang kurang dapat dipertanggungjawabkan. Sebagai contoh, sebelum mengakhiri uraian ini, kata فعل misalnya. Secara umum, kata ini mempunyai arti ‘berbuat’, ‘melakukan’, ‘bertindak’, atau yang sejenisnya. Kata ini dalam Alquran digunakan untuk menjelaskan gambaran tentang berbagai macam perilaku, dan bukan untuk satu macam perilaku saja. Di waktu lain, kata ini mempunyai arti siksa yang amat pedih, yakni pada saat kata ini disandarkan kepada Allah Swt. secara langsung
Menyadari kelemahan dan keterbatasan penerjemah itu, para ahli ilmu Alquran dan para pakar ilmu Hadis menetapkan keharusan untuk aspek-aspek kebahasaan dan kesusastraan Arab, sebagai syarat utama untuk mendapatkan pemahaman yang benar, ketika hendak menggali kekayaan kandungan makna yang terdapat dalam Alquran dan Hadis.

Sumber:
http://kampusislam.com/content/view/31/
http://komaris.wordpress.com

ARABIC AS A SEMITIC LANGUAGE

Linguists, or the scientists of language, divide the language of the world into a number of families according to their approximate structural relation and interrelation in the history of their evolution. One of the most important amongs these is the semitic family of languages (which includes languages such as Phonecion, Assyrian, Syriac or Aramaic, Hebrew and Arabic). Through intensive research and comparative studies, linguists have established a theory which assumes the existence of a parent language for all Semitic languages. They call this Proto-Semitic, the mother of all the extinct and extant Semitic languages. No one knows exactly where it started although some linguists suggest Arabia, others suggest the lower Euphrates, Armenia or even Africa. However the majority seem to consider Arabia as the home of Proto-Semitic from where the various Semitic migrations have started.
One of the most important branches of the Proto-Semitic languages is that known as South-West Semitic which is composed or North Arabic, South Arabic languages and Ethiopic. North Arabic is also subdivided into Lihyante, Thamudie, Safaitic and Arabic as we know it today. Although Arabic is considered, as Professor Nicholson (1977:xiv) states:
“the youngest of the Semitic Languages, it is generally allowed to be nearer akin than any of them to the original archetype, the “Ursemitisch” (or Proto-Semitic) from which they all are derived, just as the Arabs by reason of their geographical situation and the monotonous univormity of desert life, have in some respects preserved the Semitic character more purely and exhibited it more distinctly than any people of the same family.”
This statement falls short of saying that the Arabic Language is more Semitic than its cognates or sister languages, and that the Arabs are more Semitic nations.
The world “Semitic” is derived from the bibilacal name Shem or Sam, one of our prophet noah’s sons (Peace be upon them), who is considered the father of the Semitic peoples. It is a German Professor, August Ludwig Schlozer who first used the term “Semitic Languages” around 1781. It is interesting to note that Ibn Hazm, an Andalusian from Muslim Spain, pointed out more than one thousand years ago that Syriac, Hebrew and Arabic stem from one the same languages.
Some linguists also classify Arabic as a Hamito-Semitic language in so far as these two groups og languages show regular structural relationships in phonology (that is the sound structure), in morphology (that is the word structure), in vocabulary, and syntax (that is the sentence structure). Amongs the Hamitic languages are old Egyptian, old Libyan, Berber, Hausa, Fula and Cushtic languages such as Somali, Galla, Southern Sudanese languages and so on. A slightly different term is currently in usage whice was proposed by the American Professor Greenberg, namely Afro-Asiatic, in which Arabic palys a big role and enjaoys the widest distribution of all.
To exemplify the structural affinity in some of the semitic languages, let us show some regular correspondences in terms of sounds and vocabulary. Note for instance the world for “open”
In Arabic fatah
Hebrew patah
Aramaic pętah
Ethiopic fatah
Akkadian pītū, patū
In conclusion, Arabic appears to be the youngest of all Semitic languages, yet it can be compared, and it shows resemblance to, some of the oldest Semitic languages such as Akkadian which was a living language about the 3rd millennium before the Prophet Jesus. Amongst the Semitic lenguages of today, Arabic is the richest in linguistic literature, and is regarded by some as the most primitive Semitic speech extant (Gray 1971:6).

Sumber:
Nicholson, Reynold A. 1977. A Literary History of the Arabs. Cambride: Cambridge University Press.
Gray, L.H. 1971. Introduction to Semitic Comparative Linguitics. Amsterdam: Philo Press.
M.H, Barkalla. 1984. Arabic Culture Through its Language and Literature.

Rabu, 27 Mei 2009

Tahukah Anda????

Bahasa Arab, Bahasa Asing Yang Mempunyai Banyak Keistimewaan
Sebagai sebuah bahasa, bahasa Arab banyak sekali memiliki keunikan, kekhasan dan keistimewaan yang tidak dimiliki oleh bahasa lainnya. Di samping tingkat kerumitan dan kesulitan bahasa Arab yang cukup tinggi. Konon bahasa Arab ini menempati tinggkat kedua dalam hal kerumitan bahasanya, setelah bahasa Cina.
Di antara keistimewaanya yang menonjol bahwa bahasa Arab mempunyai kemampuan yang luar biasa dalam melahirkan makna-makna baru, bahkan hanya disebabkan oleh perubahan bunyi saja. Kaidah gramatikal yang umum sekali dikenal mengenahi hal ini, زيادة المبنى تدل على زيادة المعنى (perubahan sruktur huruf [bunyi] berakibat terhadap perubahan sruktur makna), juga kelengkapan kosakata yang dimiliki bahasa ini, yang menurut sebagian pakar bahasa, mencapai 25 juta kosakata.
Keunikan lain yang dimiliki bahasa Arab adalah kekayaan sinonimi. Yang lebih unik lagi bahwa sinonimi tersebut tidak selalu mempunyai arti yang sama. Sebagai contoh kata خوف dan kata خشية , yang keduanya dalam bahasa Indonesia diartikan takut . Padahal, masing-masing mempunyai konsekuensi semantik yang berbeda.
Di sini, kata خشية mempunyai nilai cakupan semantik lebih tinggi daripada kata خوف Karena kata خشية mengandung arti besarnya rasa takut yang bercampur baur dengan rasa penghormatan, meskipun orang yang takut itu adalah orang kuat, sedangkan kata خوف lebih berarti ketakutan yang disebabkan oleh ketakutan orangnya, meskipun sesuatu yang ditakuti itu bukanlah hal yang layak untuk ditakuti.
Bahasa Arab juga memiliki keunikan lain berupa banyaknya kata-kata yang ambigu. Bahkan, tidak jarang satu kata memiliki dua arti atau lebih yang saling berlawanan (homonimi, المشترك اللفظى Tidak jarang pula satu huruf mempunyai lebih dari satu arti. Huruf و (wawu) misalnya, menurut al-Zarkasyi, paling tidak menunjuk pada enam makna yang berbeda-beda.
Keistimewaan bahasa Arab tampak pula ketika bahasa ini mampu merangkum makna yang panjang dalam sebuah kalimat yang pendek, atau bahkan hanya dalam satu kata. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah جوامع الكلم. Keistimewaan lainnya adalah bahwa bahasa Arab memiliki cirri khas konjugasi (إعراب ) yang dapat mempengaruhi sepenuhnya perubahan makna. Bahasa ini juga mempunyai kekhasan lain yang terlihat pada jenis kelamin kata atau pada bilangannya, di mana ia terdiri atas tunggal ( مفرد ) , dual (مثنى) dan plural (جمع).Keistimewaan lainya bahasa yang digunakan Alquran ini, adalah kecenderungannya kepada penyingkatan atau yang diistilahkan dengan (إيجاز ). Karena dalam tradisi bahasa ini dikenal istilah yang kurang lebih sebagai berikut ini: خيرالكلام ماقل ودل perlu pula memperpanjanglebarkan penjelasannya bila itu diperlukan. Model penjelasan ini biasa dikenal dengan itnab (إطناب ).Mereka yang awam bahasa Arab, juga akan menemui kesulitan ketika menjumpai suatu struktur kalimat, baik dalam Alquran atau Hadis, apakah kalimat itu ditunjukkan secara umum? Ataukah kalimat itu terbatas pada latar belakang historis yang sangat khusus, di mana kalimat itu pertama kali diucapkan (العبرة بعموم اللفظ أم بخصوص السبب؟ ). Demikian pula sebaliknya.Masih banyak keunikan, kekhasan, dan keistimewaan bahasa Arab. Namun di antara sekian banyak kelebihan bahasa Arab itu, ada yang mungkin sangat menyulitkan proses kerja penerjemahan. Salah satunya adalah adanya pendahuluan struktur yang semestinya diakhirkan (تقديم ) dan pengakhiran struktur yang semestinya didahulukan (تأخير ). Bahkan kadang Alquran ‘menerjang’ pula kaidah ini, di mana tidak diperhatikan lagi adanya ketetapan تقديم dan تأخير dalam struktur itu, sesuai dengan kaidah gramatikal Arab yang berlaku. Ambil contoh kata وأجل مسمى عنده Padahal semestinya menurut kaidah yang umum adalahعنده أجل مسمى
Konteks semantik bahasa teks-teks keislaman itu, meski teks-teks itu sendiri memakai kosakata yang dipergunakan oleh orang-orang Arab, bukan berarti cakupan semantiknya sama persis dengan yang diketahui oleh orang-orang Arab pada masa-masa sebelumnya. Contoh yang paling mudah adalah kata الله misalnya. Kata ini bukannya tidak dikenal di kalangan masyarakat Arab sebelum datangnya Islam. Hal ini bisa dilihat dari puisi-puisi pra Islam, gabungan nama-nama orang dan tulisan-tulisan kuno. Alquran sendiri juga memberikan gambaran mengenahi hal itu [lihat 39:3, 46:28, 12:40]. Namun cakupan semantik kata ini menjadi sangat berubah ketika Islam datang.